Sekira setahun belakangan, di Ternate terutama di sekitar sekolah tempat saya mengajar, sedang booming tentang fintech dan mata uang virtual. Banyak teman berinvestasi di kedua jenis barang yang saya tak pahami itu. Akhirnya penasaran juga ingin kepo tentang keduanya. Namun, kali ini hanya bercerita tentang mata uang virtual saja. Semoga bisa merangkum juga tentang fintech di lain waktu.
Teman-teman banyak menawarkan untuk ikut bergabung dalam investasi tersebut. Tapi entah mengapa logika saya tidak bisa sejalan. Hati pun tidak merasa sreg seolah ada yang kurang pas. Setelah membaca-baca artikel, barulah yakin untuk bertahan tidak mengikuti jejak teman-teman, meski sudah banyak yang mendapat "keuntungan" yang lumayan.
Gambar ilustrasi bitcoin diambil dari: m.liputan6.com
Dari artikel yang saya baca, mata uang virtual sebetulnya banyak sekali jenisnya, hampir 1.400. Namun, bitcoin adalah jenis yang paling besar pasarnya. Ripple, ethereum, litecoin adalah jenis lainnya.
Bitcoin diciptakan oleh Satoshi Nakamoto (nama samaran) pada tahun 2009 yang merupakan mata uang berbasis cryptography atau komputer.
Untuk mendapatkan bitcoin, dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama membeli bitcoin dari pihak lain yang menjual, dan kedua bisa diperoleh dengan menambang yaitu memecahkan kode pada blockchain. Blockchain adalah sistem komputer yang mencatat semua transaksi bitcoin dari seluruh dunia. Penambangan bitcoin memerlukan perangkat komputer dan ketrampilan memecahkan kode-kode numerik.
Hingga kini ada enam negara yang melegalkan mata uang virtual sebagai alat pembayaran, yaitu Amerika Serikat, Jepang, Denmark, Korea Selatan, Finlandia, dan Rusia. Sementara di Arab Saudi jenis mata uang ini dihukumi haram. Di berbagai negara bitcoin dan kawan-kawan masih menjadi perdebatan kelegalannya.
Di Indonesia, BI tidak mengakui alat pembayaran selain rupiah. Peraturan BI No. 18/40/PBI/2016 melarang sistem pembayaran dengan mata uang virtual.
Pejabat BI mengingatkan masyarakat untuk tidak membeli, menjual, dan memperdagangkan mata uang virtual. Alasannya karena tidak adanya administrator resmi dari mata uang ini, serta nilai perdagangannya yang sangat fluktuatif, membuatnya rentan resiko penggelembungan, rawan untuk menjadi sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Pejabat BI mengingatkan masyarakat untuk tidak membeli, menjual, dan memperdagangkan mata uang virtual. Alasannya karena tidak adanya administrator resmi dari mata uang ini, serta nilai perdagangannya yang sangat fluktuatif, membuatnya rentan resiko penggelembungan, rawan untuk menjadi sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Selain BI sebagai otoritas keuangan dalam negeri, peringatan juga disampaikan oleh pejabat MUI. Memang hingga kini belum ada fatwa yang dikeluarkan tentang hukum mata uang virtual, namun Ketua Komisi Dakwah MUI KH. Cholil Nafis menyampaikan, bitcoin sebagai alat tukar hukumnya boleh (mubah), tetapi sebagai investasi hukumnya haram karena hanya alat spekulasi yang menimbulkan gharar (merugikan pihak lain).
Dari situ, saya yang selama ini maju mundur oleh ajakan teman-teman menjadi mantap untuk menolak. Semoga nanti bisa memberi sedikit pencerahan kepada mereka yang mungkin belum mencari tahu tentang bitcoin dan sejenisnya.
#onedayonepost
#kelasnonfiksi
#odopbatch5
Bahan bacaan:
Mantap
ReplyDeleteHiii ... makasih Mas Arif
DeleteSaya juga tidak tertarik investasi ini, meragukan...
ReplyDeleteTeman saya banyak sekali Mbak Elin
Delete