Ujian
nasional berbasis komputer (UNBK) tahun 2018 tingkat SMA/SMK yang berlangsung
tanggal 9 – 12 April memang telah berlalu, namun ceritanya belum terlalu memudar
hingga kini. Di hari pertama, beberapa sekolah mengalami gangguan teknis
terkait jaringan internet. Hari kedua, bukan saja masalah teknis
jaringan, siswa peserta ujian di beberapa kota di Jawa Tengah mengeluhkan
kesalahan yang terjadi pada soal matematika. Dari empat puluh soal, ada sejumlah
diantaranya tidak muncul pada layar komputer ujian. Jumlah yang tidak muncul bervariasi pada
masing-masing siswa. Dapat dibayangkan, bagaimana perasaan siswa yang mengalami
kesalahan teknis tersebut.
Bukan hanya
pada soal yang tak muncul, kendala berikutnya dialami siswa karena sejumlah
soal yang dirasakan terlalu sulit. Sehingga muncullah berbagai keluh kesah
mereka di media sosial. Akun instagram @kemendikbud.ri dan @pustekkom_kemendikbud adalah salah dua yang kebanjiran curhatan dari peserta UNBK sampai orang tua yang
khawatir dengan nasib anaknya. Memang hasil UNBK tidak lagi menjadi penentu
kelulusan siswa, hanya sebagai pemetaan sekolah, namun tetap membuat mental
siswa down.
Menanggapi
berbagai masukan baik dari siswa maupun orang tua, menteri pendidikan sempat
meminta maaf atas beberapa kendala yang terjadi, namun beliau juga menyindir
siswa bahwa soal yang dianggap sulit itu salah satu tujuannya agar generasi muda tidak menjadi lemah dan cengeng. Ada benarnya juga pernyataan itu, sebagai guru saya juga
merasakan hal serupa (5 Fakta Siswa Zaman Now). Namun, di lain sisi jika soal dirasakan
terlalu sulit oleh banyak siswa maka pantas pula untuk dipertanyakan.
Kemendikbud
menyampaikan bahwa tahun ini, soal dengan tipe HOTS (higher order thingking
skills) memang telah disisipkan dalam UNBK, namun porsinya tidak sampai 15%.
Jika dihitung dari 40 soal, maka jumlah
soal HOTS maksimal adalah enam. Jadi masih ada 34 soal dengan tingkat kesulitan
mudah dan sedang.
Bukan hanya membutuhkan ketrampilan berpikir tingkat tinggi, namun yang menjadi banyak keluhan adalah konteks soal yang kurang dipahami siswa. Misalnya, dari keluhan yang disampaikan siswa pada akun kemdikbud, dalam soal digunakan masalah agar-agar dan paku, orang yang melompat ke dalam air dari atas kapal, sampai masalah menghitung bakteri. Soal HOTS memang biasanya berupa masalah kontekstual dalam kehidupan nyata.
Soal dengan masalah seperti itu tentu memerlukan pemikiran yang tidak singkat, dan tentunya HOTS untuk menyelesaikannya. Menjadi kendala ketika harus diselesaikan dalam waktu sangat terbatas, apalagi bagi siswa yang belum terbiasa dengan soal sejenis. Hal itu diperparah karena banyak siswa mengalami kelemahan konsep sejak jenjang sekolah awal.
Bukan hanya membutuhkan ketrampilan berpikir tingkat tinggi, namun yang menjadi banyak keluhan adalah konteks soal yang kurang dipahami siswa. Misalnya, dari keluhan yang disampaikan siswa pada akun kemdikbud, dalam soal digunakan masalah agar-agar dan paku, orang yang melompat ke dalam air dari atas kapal, sampai masalah menghitung bakteri. Soal HOTS memang biasanya berupa masalah kontekstual dalam kehidupan nyata.
Soal dengan masalah seperti itu tentu memerlukan pemikiran yang tidak singkat, dan tentunya HOTS untuk menyelesaikannya. Menjadi kendala ketika harus diselesaikan dalam waktu sangat terbatas, apalagi bagi siswa yang belum terbiasa dengan soal sejenis. Hal itu diperparah karena banyak siswa mengalami kelemahan konsep sejak jenjang sekolah awal.
Beberapa
siswa yang saya amati selama di sekolah, mereka mengerjakan soal cerita tanpa
tahu konsep yang digunakan. Hanya mengamati angka-angka yang diberikan,
mengotak-atik sekenanya sampai menemukan hasil yang sesuai dengan pilihan
jawaban yang ada, atau paling tidak yang paling mendekati. Hal itu disebabkan
karena mereka tidak memahami konsep secara kontekstual. Kondisi seperti itu
bukan saja terjadi pada jenjang SMA tetapi dari jenjang SD dan SMP. Mestinya
kemendikbud memperbaiki kondisi ini terlebih dulu sebelum mengambil kebijakan
memasukkan soal bertipe HOTS meski hanya 15%.
Memperbaiki
kondisi tersebut di atas berarti meningkatkan kompetensi guru-guru dalam
melaksanakan pembelajaran. Tidak bisa
dipungkiri kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran matematika yang
kontekstual masih sangat minim, sehingga sangat diperlukan pelatihan-pelatihan
untuk meningkatkan kemampuan tersebut. Keputusan memasukkan soal HOTS hingga
15% dalam UNBK tanpa memperhatikan kemampuan guru dalam mengkondisikan siswa
dengan soal HOTS, adalah keputusan yang terlalu dipaksakan.
Soal UNBK yang dilengkapi soal HOTS juga sebagai upaya kemendikbud mensejajarkan penilaian nasional dengan standar PISA (Programme of International Students Assesment). Namun, harapan ini menjadi terasa terlalu tinggi mengingat kondisi siswa di
lapangan yang tidak semuanya mempunyai kemampuan tinggi dalam pembelajaran
matematika. Akhirnya UNBK dengan soal HOTS yang berstandar PISA terkesan kurang
adil bagi siswa dan kurang faktual melihat kondisi pembelajaran terutama di
sekolah-sekolah yang berada di daerah.
Intinya pemerintah dalam hal ini kemendikbud semestinya terlebih dulu mempersiapkan siswa dan guru semaksimal mungkin, sebelum mengambil kebijakan menyisipkan soal HOTS dan standar PISA dalam sistem penilaian nasional.
#tantanganpekanketiga
#kelasnonfiksi
#ODOPbatch5
#onedayonepost
Hmm mudah2an ke depannya ini jadi evaluasi ya buat yg pihak2 yg berwenang 🙇
ReplyDeleteKita hanya bisa berharap mbak Herr
DeleteSekarang istilah sekolah bermacam-macam ya. Tuntutan juga semakin tinggi, tetap semangat Mbak Desi...:)
ReplyDeleteTerima kasih mbak Elin.
DeleteMas Arif mah mantap terus nih
ReplyDelete