Semua pembaca, aku yakin, telah mengetahui tentang kurikulum sekolah yang saat ini diterapkan di negara tercinta ini. Ya, sejak tahun 2013, seperti namanya K-13 mulai diterapkan secara bertahap menggantikan kurikulum sebelumnya yaitu KTSP. Bertahap karena menyesuaikan dengan kesiapan sekolah untuk melaksanakan, sehingga sampai kini masih ada beberapa sekolah yang masih ber-KTSP, namun dalam proses menuju K-13.
Salah satu perbedaan mendasar K-13 dengan sebelumnya adalah perubahan paradigma bahwa siswa adalah subjek belajar, bukan lagi objek belajar. Artinya, siswa diberikan kesempatan membangun proses belajarnya sendiri atau disebut metakognisi.
Sehingga, dalam pembelajaran dengan K-13, guru menjadi tabu untuk menjelaskan materi dengan gamblang seperti jaman belajar era 90-an dulu. Guru hanya sebagai fasilitator, siswa sendiri yang mencari, menganalisis, dan memecahkan masalah. Inilah yang digaung-gaungkan sebagai pendekatan ilmiah.
Gambar dari: www.biologimu.web.id
Nah, ada yang menggelitik pikiranku beberapa waktu terakhir. Seperti yang kusampaikan di atas, setiap proses pembelajaran di dalam K-13 harus mengacu pada pendekatan ilmiah yaitu diawali dari proses pengamatan, memunculkan pertanyaan, mengasosiasi/menganalisis, hingga sampai pada kesimpulan dan penyajian hasil. Intinya, siswa dibiasakan untuk berpikir dan bertindak secara ilmiah.
Baru-baru ini, aku membaca sebuah buku dan menemukan penggalan dalam kata pengantarnya seperti ini:
“Tentu sangatlah tidak bijaksana bila berbicara dalam seminar atau lokakarya tentang pikiran, saya tidak bisa memberikan penjelasan ilmiah dan hanya mengandalkan penjelasan dari berbagai kitab suci. …. “
Entah mengapa dari penggalan itu kemudian membuatku berpikir, dan menghawatirkan, anak-anak atau siswa yang ditanamkan untuk berpikir dan bertindak ilmiah sejak sekolah dasar, bisa jadi akan tumbuh menjadi manusia yang lebih mengagungkan hasil pemikiran manusia. Jika mereka tidak mempunyai dasar yang kuat tentang apa yang diajarkan dalam kitab suci, maka bisa jadi mereka akan mengesampingkan ajaran agama karena dianggap hanya sebagai dogma yang tidak ilmiah.
Aku bergidik dan merasa ngeri sendiri dengan pikiranku yang mungkin terlalu liar. Semoga ini hanya bayangan dari kebodohanku.
#onedayonepost
#ODOPbatch5
Baru tahu, Mbak Desi. Makasih sharingnya. Tapi menurutku pribadi ya, anak-anak itu kan memiliki potensi berpikir yang berbeda-beda. Ada yang cepat memahami dan aktif, ada yang lamban dan harus digerakkan. Dan fungsi guru adalah mengarahkan dan membimbing. Cuma ya berarti kalau siswa bertanya kepada guru berarti guru harus menjelaskan dengan gamblang, itu juga kan proses menganalisa? bukankah begitu?
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkunjung lagi....
DeleteIntinya guru memang mengarahkan, pun kalo siswa bertanya guru cukup mengarahkan agar siswa menemukan kebenaran sendiri.
Iya, jika salah berarti juga guru wajib meluruskan. Gitu kan ya bu guru? :)
DeleteBetul betul betul....
Delete