"Permisi Pak, numpang lewat." Seperti biasa, bapak yang sedang duduk di terasnya itu hanya diam saja. Jangankan menjawab sapaanku, sekedar tersenyum, ataupun menunjukkan roman ramah di wajahnya, belum pernah kudapati setiap kali aku mengucapkan kata-kata itu. Untuk kesekian kalinya, ia hanya menatap sebentar dengan pandangan yang entah apa namanya. Seperti pandangan yang berat, seberat bibirnya yang tak mudah bergerak.
Sudah dua bulan aku ngekost di sebelah rumahnya, tepatnya berjarak tiga rumah di belakangnya. Rumah kostku terletak di lorong kecil, sehingga untuk berangkat dan pulang kerja atau kemanapun, harus melewati depan terasnya.
Aku sering mendapatinya duduk di teras, dan selalu kusapa dengan senyuman dan permisi. Namun, entah mengapa bapak tua sekitar 60-an itu tak pernah membalas senyumanku. Aku seperti orang aneh yang suka senyam-senyum sendiri di depannya.
Meski begitu, aku tak pernah berpikir jauh, selalu kutunjukkan wajah ramah dengan senyuman kepadanya. Karena aku ingat, senyum itu katanya ibadah. Apalagi, ini berhubungan dengan adab kepada orang yang lebih tua.
Gambar dari pondokitab.blogspot.com
Sore itu, seperti biasa aku melewati depan rumahnya sepulang kerja. Namun kali ini, aku tak melihat si bapak di terasnya. "Oh, tidak perlu tersenyum tanpa balasan lagi," pikirku. Beberapa langkah melewati pagar teras, sayup-sayup terdengar suara seperti orang merintih. Berhenti sebentar, aku memastikan suara itu. Iya, berasal dari rumah si bapak yang pintunya tidak tertutup.
Sejenak aku ragu, namun kubalikkan langkahku dan kucoba membuka pintu pagar kayu di teras rumah. Aku menuju ke pintu, dan kuberanikan memberi salam. Di ruangan agak ke dalam, seorang bocah lelaki sedang terbaring. Rupanya suara rintihan tadi berasal darinya. Seorang ibu duduk di pinggir dipan tempat bocah itu tiduran.
Aku bergegas mendekati sang ibu, dan menjelaskan mengapa aku masuk. Rupanya, si ibu lebih ramah dari yang kubayangkan. Dia mulai bercerita tentang anaknya, Tio, yang sedang sakit gigi. Juga tentang kondisi Tio yang berkebutuhan khusus sehingga jarang bermain di luar dengan teman sebayanya. Anak itu sekitar usia remaja, namun wajahnya khas penderita defisiensi mental.
Aku mendengar ceritanya, sambil sedikit memperhatikan keadaan rumah. Rumah yang tampak mulai tua dengan perkakas yang sederhana, namun tertata cukup rapi.
Sepanjang ibu bercerita, aku tak melihat si bapak. Dari cerita sang ibu, si bapak adalah suaminya yang bekerja sebagai satpam di SPBU.
Aku menawarkan obat pereda sakit yang biasa kuminum, kuambilkan satu strip di rumah kost dan kuberikan pada si ibu dengan sedikit penjelasan dosis minumnya. Namun, tak lupa kusarankan kepada si ibu untuk membawa anaknya ke dokter.
Pagi harinya, saat aku berangkat ke tempat kerja, kulihat si bapak sedang duduk seperti biasanya. Aku sudah siap tersenyum tanpa balasan, sebelum menyadari pandangan matanya yang tidak seperti biasanya. Tidak itu saja, bibirnya pun tidak kaku lagi, tampak ada sedikit senyuman meski terkesan dipaksakan. Ada rasa senang dalam hati, namun aku harus segera pergi agar tidak terlambat.
Sorenya, sepulang kerja aku sengaja mampir di lapak penjual buah. Kebetulan musim mangga begini, banyak varian mangga dijual di sini. Aku membeli dua kilo dan meminta dijadikan dua tempat. Aku ingin mampir di tempat Tio, sekedar menanyakan keadaannya.
Di depan rumahnya, agak ragu kubuka pintu pagar, karena pintu rumah tampak tertutup tidak seperti biasanya. Kuketuk daun pintu sambil berucap salam, namun sampai tiga kali salamku tak juga ada tanda-tanda dari dalam.
Agak kecewa aku berbalik, tapi di depan pagar aku hampir memekik, terkejut karena telah berdiri seseorang. Iya, si bapak berdiri di depan pagar dengan senyum mengembang di bibirnya. Sedikit kikuk karena terkejut dan tak menduga, kujelaskan maksudku. Ternyata si bapak mau berbincang sebentar. Dia menjelaskan, Tio dan ibunya sedang ke luar daerah untuk menemui keluarga di sana sekaligus ada pengobatan alternatif yang biasa dilakukan untuk Tio.
Aku tak memperpanjang pembicaraan, hanya kutinggalkan bungkusan plastik berisi mangga tadi di atas meja teras dengan sedikit basa-basi. Aku langsung permisi pulang.
Meski tak bisa membantu banyak, namun aku merasa sedikit senang bisa melihat senyum di wajah ayah Tio. Senyum dan balasan dari sapaanku yang selanjutnya selalu kulihat saat bertemu lagi dengannya.
Bahkan senyumnya semakin tampak natural dan lebar. Ternyata benar, senyum memang membuat orang senang melihatnya. Seperti aku senang, melihat senyum bapak tua di teras rumahnya itu.
#Tantangan6
#KarakterTakBiasa
#onedayonepost
#ODOPbatch5
Saya kok bacanya malah berkaca-kaca ya bu guru? Haru, sedih, senang, campur aduk rasanya.
ReplyDeleteTerimakasih mbak, cerpennya sungguh menggugah.
Iya kah mba Nia? Hihiii cerpennya mba Nia apalagi bikin nangis bombay
DeleteHehe. Ceritanya keren
ReplyDeleteSaya pikir sederhana sekali
DeleteCeritanya melow ðŸ˜ðŸ˜
ReplyDeleteKok jadi melow ya mba ... padahal maksudnya nggak
DeleteðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
ReplyDeleteNangisnya sedih atau kenapa nih?
DeleteBaik bgt si mbak... kirain si bapak yg kenapa2 😢
ReplyDeleteYg bikin sedih yg mana sih? 😊
DeleteSiapa sih yg ngiris bawang ?? ðŸ˜
ReplyDeleteKenapa pada sedih sih ...
Delete