Akhirnya, waktu 2 bulan telah terlewati sejak akhir Januari 2018. Kalau mau dibilang tidak terasa, rasanya tidak pas juga. Karena selama 8 pekan itu, merasa cukup terombang-ambing, jatuh bangun semangat dan energi untuk menyelesaikan semua kewajiban dan tantangan yang diberikan.
Kewajibannya adalah ada postingan setiap hari, sedangkan tantangannya beragam dari pekan 1 sampai 8. Namun, yang sangat terasa adalah tantangan terakhir, yaitu tantangan pekan 7 & 8, membuat cerbung minimal 10 episode.
Buat mereka yang concern dalam tulisan fiksi, sepertinya tantangan tersebut bukanlah masalah. Akan tetapi bagi peserta yang tidak terbiasa menulis fiksi seperti saya, sungguh menguras energi dan motivasi. Memulai episode 1 saja sudah membutuhkan waktu untuk mencari cerita yang kira-kira bisa dikembangkan sampai 10 episode. Kalau fiksi berupa cerpen sekali selesai, mungkin masih agak ringan, tapi kalau sampai 10 episode? Big NO rasanya saat itu.
Kata salah satu PJ Mars, Kang Dwi, waktu itu, “Tulis saja dulu premis-premisnya. Baru dikembangkan,” kira-kira begitu. Dari situ, oke lah. Saya coba menulis premis-premis untuk setiap episode yang akan diceritakan. Maka meski dengan terseok-seok, episode demi episode akhirnya terselesaikan juga. Alhamdulillaah … rasanya. Berasa amazing juga. Saya tidak berpikir tentang kelulusan ODOP, bisa memenuhi tantangan saya sendiri menambah postingan blog, sudah hal yang membahagiakan.
Jadi, menurut saya seorang penulis fiksi pastilah orang yang telah banyak sekali membaca, menonton, atau mengalami. Dibutuhkan kecerdasan untuk membuat premis-premis dan merangkainya sehingga menghasilkan cerita yang logis, tidak kontradiktif antara kejadian satu dengan yang lain. Sampai di sini saya merasa salut pada para penulis fiksi.
Dan, buat saya menjadi masuk akal ketika seorang tokoh nasional menyampaikan sebuah pernyataan yang diambil dari sebuah novel. Karena banyak novel ditulis bukan sekedar khayalan atau imajinasi, apalagi penulisnya adalah seorang ahli strategi.
Kewajibannya adalah ada postingan setiap hari, sedangkan tantangannya beragam dari pekan 1 sampai 8. Namun, yang sangat terasa adalah tantangan terakhir, yaitu tantangan pekan 7 & 8, membuat cerbung minimal 10 episode.
Buat mereka yang concern dalam tulisan fiksi, sepertinya tantangan tersebut bukanlah masalah. Akan tetapi bagi peserta yang tidak terbiasa menulis fiksi seperti saya, sungguh menguras energi dan motivasi. Memulai episode 1 saja sudah membutuhkan waktu untuk mencari cerita yang kira-kira bisa dikembangkan sampai 10 episode. Kalau fiksi berupa cerpen sekali selesai, mungkin masih agak ringan, tapi kalau sampai 10 episode? Big NO rasanya saat itu.
Kata salah satu PJ Mars, Kang Dwi, waktu itu, “Tulis saja dulu premis-premisnya. Baru dikembangkan,” kira-kira begitu. Dari situ, oke lah. Saya coba menulis premis-premis untuk setiap episode yang akan diceritakan. Maka meski dengan terseok-seok, episode demi episode akhirnya terselesaikan juga. Alhamdulillaah … rasanya. Berasa amazing juga. Saya tidak berpikir tentang kelulusan ODOP, bisa memenuhi tantangan saya sendiri menambah postingan blog, sudah hal yang membahagiakan.
Dari pengalaman
menulis harian, tantangan, dan blog walking yang hampir setiap hari juga
dilakukan, ada beberapa hal yang menjadi catatan buat saya.
1. Menurut saya, penulis fiksi adalah
orang-orang yang cerdas.
Kalau menulis nonfiksi, ibaratnya
sudah ada bahan mentahnya, tinggal mengolah menjadi bahan jadi berupa tulisan. Tetapi,
untuk tulisan fiksi, penulis harus mencari dan menciptakan sendiri bahan
mentahnya. Hal itu tentu membutuhkan imajinasi dan pengetahuan serta pengalaman
yang tidak cukup hanya sedang-sedang saja.
Misalnya, cerita tentang seorang yang mengalami sindrom atau gangguan syaraf tertentu, pasti penulis harus banyak membaca tentang gejala dan akibat yang tampak pada penderita sehingga ceritanya menjadi masuk akal, secara medis maupun ilmiah. Bagi pembaca, ini juga bisa menjadi pengetahuan tersendiri.
Ada lagi sci-fi yang menuntut pengetahuan teknologi canggih, tentu tidak semua orang bisa mengolahnya menjadi cerita fiksi.
Merujuk pada pernyataan seorang penulis, Fahmy Arafat Daulay, film Hulk ternyata sangat sejalan dengan terapi kemarahan. Kemarahan akan mereda dengan belaian dan kasih sayang yang tulus, seperti Hulk yang akan kembali menjadi manusia normal jika bertemu kekasihnya yang menenangkannya. Dan itu tentu ditulis dengan pengkajian sebelumnya.
Gambar dari: medium.com
Ada lagi sci-fi yang menuntut pengetahuan teknologi canggih, tentu tidak semua orang bisa mengolahnya menjadi cerita fiksi.
Merujuk pada pernyataan seorang penulis, Fahmy Arafat Daulay, film Hulk ternyata sangat sejalan dengan terapi kemarahan. Kemarahan akan mereda dengan belaian dan kasih sayang yang tulus, seperti Hulk yang akan kembali menjadi manusia normal jika bertemu kekasihnya yang menenangkannya. Dan itu tentu ditulis dengan pengkajian sebelumnya.
Jadi, menurut saya seorang penulis fiksi pastilah orang yang telah banyak sekali membaca, menonton, atau mengalami. Dibutuhkan kecerdasan untuk membuat premis-premis dan merangkainya sehingga menghasilkan cerita yang logis, tidak kontradiktif antara kejadian satu dengan yang lain. Sampai di sini saya merasa salut pada para penulis fiksi.
Dan, buat saya menjadi masuk akal ketika seorang tokoh nasional menyampaikan sebuah pernyataan yang diambil dari sebuah novel. Karena banyak novel ditulis bukan sekedar khayalan atau imajinasi, apalagi penulisnya adalah seorang ahli strategi.
2. Menurut saya lagi, mereka
yang menguasai tulisan fiksi, ketika sudah menulis sebuah cerita, akan terasa
sangat mengasikkan, karena terasa seperti permainan, harus ada kejutan,
keberlanjutan, yang dikemas apik agar cerita menjadi menarik.
3. Menurut saya sekali lagi, setelah membaca
tulisan dari banyak orang di dalam blognya masing-masing, sekali lagi menurut
saya, tulisan itu kadang bisa menggambarkan karakter penulisnya.
Jika grafologi
mempelajari karakter seseorang dari coretan tangannya, maka mungkin ada ilmu
yang membahas karakter seseorang dari hasil tulisannya.
Dari tulisan, kita bisa memperkirakan
dan merasakan emosi, sifat dasar, dan pandangan hidup dari penulisnya. Dengan memperhatikan
beberapa tulisan dari seseorang, menurut saya bisa diperkirakan kecenderungan karakter penulisnya seperti apa.
#onedayonepost
#ODOPbatch5
Hmmm... penulis nonfiksi juga begitu Mbak.
ReplyDeleteJustru kalau dibanding fiksi, nonfiksi lebih harus banyak baca, harus punya banyak ilmu, kalau fiksi kan lebih ke daya khayal.
Yah, fiksi dan nonfiksi dua hal yang keren banget sih sebenarnya. Dua-duanya punya kelebihan dan kekurangan.
Tetap semangat nulis bu guru ^_^
Iya sih ... dua-duanya menuntut penulis untuk banyak membaca.
DeleteCuma menurut saya menulis fiksi kadang menuntut banyak pengetahuan banyak bidang. Misalnya tentang downsindrome, sci-fi, psikopat, pasti penulis harus banyak membaca sebelum bisa menulis
yang yg cerdas itu penulis yg menulis dan tulisannya membuat org lain menjadi lebih baik..
ReplyDeletembak des is (h)
Kalo Kang Dwi ini mastah dua2nya
DeleteIni tulisan.y keren 😍😍😍
ReplyDeleteTerima kasih .... Mas Rusdi selalu bikin orang seneng 😊
DeleteSepertinya tulisan ini akan merujuk pada satu pilihan 🙊
ReplyDeleteSaya mah konsisten aja mba Alif
Delete