Wajahnya tidak cantik-cantik amat. Hanya, entah mengapa selalu enak dipandang. Mungkin karena senyum ramah dan pemalu yang membuatnya menarik. Setidaknya bagi Amar. Dia gadis berlesung pipi dan berkerudung yang sering tampak sendirian. Tidak seperti yang lain, dia lebih sering berjalan, atau duduk-duduk tanpa teman-temannya. Kalaupun bersama teman-temannya, dia tidak terlalu banyak bicara. Di perpustakaan, Amar sering menemukannya duduk sendirian.
Sudah hampir dua semester, gadis itu menjadi adik tingkat Amar. Namun, baru sekitar dua minggu lalu Amar menyadari ada yang menarik dari gadis itu. Amar tidak sengaja bertemu pandang dengannya saat keluar dari mushala kampus. Dia baru saja menuju mushala untuk shalat dhuhur waktu itu. Entah mengapa, sejak itu Amar merasa dia gadis yang istimewa. Dan sejak itu pula, Amar selalu tergoda memperhatikan sosok sederhana yang menarik hatinya.
Kalau dilihat dari penampilannya, sebetulnya gadis itu sangat sederhana atau mungkin polos lebih tepatnya. Kerudungnya tidak terlalu besar, tapi juga tidak kecil berlilit-lilit yang istilahnya modis atau gaul. Bajunya juga sedang-sedang saja, tidak bergamis yang lebar-lebar, pun tidak ketat-ketat yang membuat lekuk tubuh terlihat. Wajahnya tampak natural, tidak seperti wajah Santi atau Dea, teman sekelas Amar, yang seperti artis di televisi. Mungkin kesederhanaan dan kesan kemandirian, hal itu yang membuat Amar lebih tertarik. Selain dari senyum natural yang meronakan malu, yang selalu tampak di wajahnya.
Hari itu, Amar sedang duduk di deretan belakang ruang baca perpustakaan kampus MIPA, saat matanya menangkap sosok yang akhir-akhir ini sering dirindukannya. Rindu dalam diam, begitu Amar menganggapnya. Ya, dia tidak mungkin mengungkapkan kerinduannya kepada orang lain. Jadi dia hanya merindukan sosok gadis itu dalam diam.
Setelah menaruh tas dan memilih buku beberapa saat, gadis itu tampak duduk di pojok depan. Sebaris dengan tempat Amar duduk, tapi posisi membelakangi Amar, membuat Amar bisa memperhatikannya diam-diam dengan leluasa. Apalagi, suasana perpustakaan sedang tidak ramai, hanya sedikit mahasiswa memilih-milih buku, dan seorang petugas di meja pelayanan. Gadis itu tampak membaca dan menulis bergantian.
“Mungkin sedang mengerjakan tugas,” batin Amar.
Entah, apakah gadis itu menyadari kalau Amar sering memperhatikannya akhir-akhir ini.
Amar terkejut saat pundaknya ditepuk seseorang.
“Serius amat, Mar,” sapaan Rama si penepuk pundak Amar.
“Serius baca, atau ngelamun nih …” lanjutnya. Amar hanya tersenyum menanggapi Rama.
“Sepertinya ada yang kamu perhatikan, ya.”
“Kamu ngomong apa sih Ram,” jawab Amar akhirnya.
“Jangan pura-pura. Gadis di depan itu, kan?”
“Gila, kok dia bisa tahu,” batin Amar.
Rama memang teman dekat Amar, mereka satu kelas di kampus dan satu rumah kost pula. Wajar jika Rama mengenal baik tabiat Amar. Sejak awal kuliah mereka biasa kemana-mana bersama.
“Kamu tahu darimana Ram, aku memperhatikannya?” Amar tak bisa mengelak.
“Beberapa kali aku lihat matamu sering terpaku padanya. Seperti tadi, saat aku datang.”
Rupanya Amar seperti hilang kesadaran kalau sudah memperhatikan gadis itu, sampai tidak menyadari sahabatnya memperhatikan. Atau juga karena Rama memang sahabat yang baik, mengerti benar kondisi Amar.
Mereka pun terlibat pembicaraan, hingga tiba-tiba Amar tersadar si gadis tak di tempatnya lagi. Refleks mata Amar menyapu sekeliling, tapi memang sudah tak tampak sosok itu.
“Cepat sekali keluarnya, sampai tak sadar,” batin Amar.
Akhirnya berdua dengan Rama, Amar berdiskusi menyelesaikan tugas Persamaan Differensial.
Bersambung ….
Gambar dari yuzuhana.deviantart.com
Sudah hampir dua semester, gadis itu menjadi adik tingkat Amar. Namun, baru sekitar dua minggu lalu Amar menyadari ada yang menarik dari gadis itu. Amar tidak sengaja bertemu pandang dengannya saat keluar dari mushala kampus. Dia baru saja menuju mushala untuk shalat dhuhur waktu itu. Entah mengapa, sejak itu Amar merasa dia gadis yang istimewa. Dan sejak itu pula, Amar selalu tergoda memperhatikan sosok sederhana yang menarik hatinya.
Kalau dilihat dari penampilannya, sebetulnya gadis itu sangat sederhana atau mungkin polos lebih tepatnya. Kerudungnya tidak terlalu besar, tapi juga tidak kecil berlilit-lilit yang istilahnya modis atau gaul. Bajunya juga sedang-sedang saja, tidak bergamis yang lebar-lebar, pun tidak ketat-ketat yang membuat lekuk tubuh terlihat. Wajahnya tampak natural, tidak seperti wajah Santi atau Dea, teman sekelas Amar, yang seperti artis di televisi. Mungkin kesederhanaan dan kesan kemandirian, hal itu yang membuat Amar lebih tertarik. Selain dari senyum natural yang meronakan malu, yang selalu tampak di wajahnya.
Hari itu, Amar sedang duduk di deretan belakang ruang baca perpustakaan kampus MIPA, saat matanya menangkap sosok yang akhir-akhir ini sering dirindukannya. Rindu dalam diam, begitu Amar menganggapnya. Ya, dia tidak mungkin mengungkapkan kerinduannya kepada orang lain. Jadi dia hanya merindukan sosok gadis itu dalam diam.
Setelah menaruh tas dan memilih buku beberapa saat, gadis itu tampak duduk di pojok depan. Sebaris dengan tempat Amar duduk, tapi posisi membelakangi Amar, membuat Amar bisa memperhatikannya diam-diam dengan leluasa. Apalagi, suasana perpustakaan sedang tidak ramai, hanya sedikit mahasiswa memilih-milih buku, dan seorang petugas di meja pelayanan. Gadis itu tampak membaca dan menulis bergantian.
“Mungkin sedang mengerjakan tugas,” batin Amar.
Entah, apakah gadis itu menyadari kalau Amar sering memperhatikannya akhir-akhir ini.
Amar terkejut saat pundaknya ditepuk seseorang.
“Serius amat, Mar,” sapaan Rama si penepuk pundak Amar.
“Serius baca, atau ngelamun nih …” lanjutnya. Amar hanya tersenyum menanggapi Rama.
“Sepertinya ada yang kamu perhatikan, ya.”
“Kamu ngomong apa sih Ram,” jawab Amar akhirnya.
“Jangan pura-pura. Gadis di depan itu, kan?”
“Gila, kok dia bisa tahu,” batin Amar.
Rama memang teman dekat Amar, mereka satu kelas di kampus dan satu rumah kost pula. Wajar jika Rama mengenal baik tabiat Amar. Sejak awal kuliah mereka biasa kemana-mana bersama.
“Kamu tahu darimana Ram, aku memperhatikannya?” Amar tak bisa mengelak.
“Beberapa kali aku lihat matamu sering terpaku padanya. Seperti tadi, saat aku datang.”
Rupanya Amar seperti hilang kesadaran kalau sudah memperhatikan gadis itu, sampai tidak menyadari sahabatnya memperhatikan. Atau juga karena Rama memang sahabat yang baik, mengerti benar kondisi Amar.
Mereka pun terlibat pembicaraan, hingga tiba-tiba Amar tersadar si gadis tak di tempatnya lagi. Refleks mata Amar menyapu sekeliling, tapi memang sudah tak tampak sosok itu.
“Cepat sekali keluarnya, sampai tak sadar,” batin Amar.
Akhirnya berdua dengan Rama, Amar berdiskusi menyelesaikan tugas Persamaan Differensial.
Bersambung ….
#BismillahLulus
#Tantangan7&8
#onedayonepost
#ODOPbatch5
Bacanya sambil senyum-senyum inih.
ReplyDeleteKeren bu guru ^_^
Pokoknya nulis aja mba Nia. Bingung saya mau cerita apa π€
DeleteWuah... bingung aja udah keren gini? ^_^
DeleteWah mba desi akhirnya dapat ide, keren ceritanya bikin penasaran tokoh perempuannya π
ReplyDeleteAlhamdulillaah ...
DeleteRindu itu ga berat π
ReplyDeleteSudah biasa menanggung ya
DeleteAduh.. susah nih klo udah berurusan dengan rindu..
ReplyDeletePengalaman juga nih kayaknya mba Lina
DeleteEndingnya tetep matematika juga ya mbaa hhe btw kereen deskripsinya jagooππ
ReplyDeleteJauuuhh ... dari mba HAW
Deletelanjutkan...
ReplyDeletepenasaran sama si cewek sederhana tapi memikatππ
Semoga bisa lanjut idenya ya mba Arin
DeleteSuit... suit... sama kayak mbak Nia π bacanya sambil senyum2 sendiri π
ReplyDeleteLanjutkan πππ
Iya biar yg baca enggak tegang, yg melo aja
Delete