Ehem … ehem ….” Suara dehem bikinan Fani selalu menggoda Eva setiap kali kakak tingkat itu masuk atau keluar ruang kuliah untuk izin shalat dzuhur. Dia kadang sendirian, kadang bersama temannya. Namun yang selalu konsisten, satu orang itu. Godaan Fani bermula sejak Eva bertanya kepada Fani di suatu hari. Fani dan Eva hampir selalu duduk bersebelahan saat perkuliahan, meski mereka tidak selalu runtang-runtung berdua.

“Fan, kamu tahu siapa nama kakak itu?” bisik Eva.

“Yang mana?” Fani menyahut tanpa menoleh.

“Itu, yang baru keluar minta izin shalat.”

Duuh, perhatian ya ….” Bukannya menjawab, Fani malah mulai menggoda. Dan sejak itu Fani selalu menggoda Eva dengan dehemannya. Eva hanya tersipu-sipu menikmati godaan Fani.

Beberapa hari dari kejadian itu baru Fani memberitahu kalau namanya adalah Amar.

“Kamu itu memang aneh, eh unik, Va,” kata Fani saat itu.

“Maksuud …?” Eva memanyunkan mulutnya.

“Satu sisi kamu begitu tertutup, tapi di sisi lain kamu jujuuur dan polos amat sih.”

“Jujur itu penting Fan,” jawab Eva.

“Jadi, kenapa kamu suka sama Kak Amar?”

“Aku suka konsistensinya, dia konsisten menjaga shalat di awal waktu. Itu saja.”

Cie cie ….” Fani menggoda lagi dan lagi setiap Amar maju ke depan untuk meminta izin pada dosen. Paling tidak ia akan menggoyang-goyang lengan Eva, atau kursi Eva disodok-sodok dengan kakinya jika kebetulan ia duduk di belakang Eva. Pun saat Amar kembali masuk.

Eva memang cukup unik bagi teman-teman yang mengenalnya. Bagi teman kostnya, Nuri, Eva adalah teman yang lucu, selalu tersenyum, tapi mudah sekali meneteskan air mata. Eva adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, yang semuanya perempuan. Salah satu keunikan Eva lainnya adalah, dia selalu berubah sikap jika ada teman lelakinya yang mengungkapkan perasaannya. Padahal dia selalu berprinsip, jujur adalah sifat utama. Namun, saat teman lelakinya berkata jujur tentang perasaannya, dia seketika akan membencinya, meski sebelumnya mereka sangat baik hubungannya sebagai teman.

Keunikan itu, didasari oleh pemikiran Eva tentang pacar, yang ia lihat dari apa yang dialami kedua kakaknya. Keduanya pernah berpacaran, namun akhirnya menikah dengan orang lain. Dan, bagi Eva itu menunjukkan bahwa pacaran itu tidak ada gunanya. Belum lagi melihat kondisi yang terjadi dengan mantan pacar, menurut Eva ada situasi yang tidak nyaman setiap kali kakaknya bertemu lagi dengan mantannya. Eva membayangkan, situasi itu pasti sangat tidak mengenakkan jika harus ia alami. Dari situlah, ia selalu merasa sangat kecewa saat ada temannya yang melamar menjadi pacarnya. Seketika Eva akan illfeel habis, dan bisa jadi dia tak mau menemuinya lagi. Itu pernah terjadi saat Eva masih SMP dan SMA. Kini, menghindari hal itu lagi, Eva memilih menjaga jarak. Apalagi sedikit-sedikit dia mengikuti kajian juga di kampus, jadi menambah alasannya untuk tidak dekat-dekat dengan teman lelaki.

Eva juga menyimpan sebuah catatan unik yang diambilnya saat membaca sebuah komik Jepang di jaman SMP-nya.


Kata-kata itu seakan menginspirasinya, dan ingin dibuktikan terjadi dalam hidupnya. Ia pernah berkata kepada Nuri, “Aku lebih menghargai laki-laki yang sabar menunggu saat tepat untuk melamar. Bukan melamar sebagai pacar, tapi melamar untuk menjadi istrinya. Langsung menikah, bukan pacaran.” Nuri hanya menggeleng-gelengkan kepala setiap kali Eva jujur tentang prinsipnya.



Bersambung ….

#BismillahLulus
#onedayonepost
#ODOPbatch5

15 comments:

 
Diary Guru © 2016 | Contact Us +6281567814148 | Order Template di Sangpengajar
Top