Sebelum subuh, kami sudah berkemas. Tepat selesai shalat, kami sudah beriringan dengan motor ojek menuju pelabuhan Bastiong. Pagi itu kami akan menumpang speedboat ke pulau Moti tempat tugasku. Bersama suami dan dua anakku yang masih berusia 7 tahun dan 10 bulan, kami memang menetap di sana sejak awal tahun ajaran 2010/2011.
Pagi itu di bulan Desember, tanggal tepatnya aku tak pernah mengingat dengan pasti. Desember merupakan salah satu bulan waspada untuk daerah yang lalu lintasnya bermoda laut. Di bulan ini biasa disebut musim angin, yang mempengaruhi perjalanan kapal, apalagi kapal-kapal kecil.
Seperti pagi itu, kami sampai di pelabuhan disambut dengan gerimis. Ada satu speedboat berukuran agak besar yang sudah hampir berangkat karena penumpang telah penuh. Di bawah guyuran gerimis yang mulai melebat, kami diarahkan untuk menumpang speed tersebut. Memang, sebagai pendatang kami tidak terlalu paham dengan transportasi laut di sini.
Kami berempat pun duduk berjarak dua baris kursi dari pengendara speed. Suasana saat itu gerimis dan langit agak gelap karena mendung. Aku tak punya perasaan apa-apa saat speedboat mulai melaju diiringi deru mesin di bagian belakang kapal.
Jika perjalanan normal, waktu tempuh dari Ternate ke Moti sekitar 1,5 jam, melewati pulau Tidore dan Mare. Hari itu lepas pandangan dari Tidore sekitar 45 menit perjalanan, gerimis belum berhenti, bahkan langit seakan semakin gelap. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja aku menyadari bahwa speed yang kami tumpangi dalam keadaan genting. Mungkin karena sepanjang perjalanan aku lebih banyak memejamkan mata untuk mengurangi efek kurang nyaman dari goyangan di atas lautan. Aku terlambat menyadari kalau orang-orang di sekitarku dalam keadaan panik dan ketakutan. Aku lihat suamiku juga mulai berubah air mukanya. Entah apa yang dia pikirkan. Sementara kedua anakku masih tertidur, si kecil di gendonganku.
Melihat penumpang lain yang menunjukkan wajah panik, bahkan tak sedikit yang berteriak dan mulai menangis, seketika aku tak bisa berpikir santai. Logikaku berpikir, mereka yang terbiasa di laut saja sampai sepanik itu, pasti ini benar-benar gawat. Air mataku mulai mengalir, dan pikiranku terasa kacau. Anak kecilku mungkin merasakan keadaan hatiku, dia pun mulai rewel dan menangis. Maka, dalam keadaan panik aku dan suami bergantian menenangkan si kecil yang tentu saja tak mau tenang. Sungguh keadaan yang tak pernah kubayangkan. Masih bersyukur, anak pertamaku bukan tipe sensitif, dia hanya diam-diam melihat keadaan, kuminta dia tenang dan berdoa.
Sebetulnya aku kasihan pada suami, tapi aku tak kuasa juga menahan kegelisahan anak keduaku, kuserahkan padanya untuk menenangkan. Saat itu aku segera memejamkan mata, air mataku mengalir deras, dan kubermunajat pada-Nya. Dalam doaku, aku meminta kesempatan untuk hidup dan berjanji memperbaiki diri. Aku yakin, kami yang di speed merasa sudah di depan gerbang kematian, karena mesin speed mati dan aku baru tahu ternyata kami kelebihan muatan. Lebih parah lagi, kapal di sini tak memiliki alat keselamatan yang memadai seperti pelampung.
Terombang-ambing di tengah laut tanpa melihat daratan karena jarak pandang terhalang kabut, aku lebih banyak memejamkan mata. Air mata sampai seakan tak keluar lagi, hingga hati ini terasa pasrah dengan apa yang akan menjadi ketentuan-Nya. Wajah-wajah mereka yang kusayangi di Jawa mulai terbayang satu-satu. Dan aku merasa tak kuasa memandang wajah suami dan anak-anaku, yang ada semakin kacau pikiranku.
Setelah sekitar 1 jam, hujan sudah berhenti, dan langit mulai menerang. Dari kejauhan tampak badan pulau Mare, dan pengemudi berusaha mengarahkan speedboat mendekati pantai. Penumpang mulai tampak lebih tenang, serasa ada harapan keselamatan. Suasana tegang sudah berkurang, pemegang mesin kapal mulai berhasil menghidupkannya, dan beberapa menit kemudian kapal mulai berjalan perlahan. Anakku pun seakan merasakan, dan tak tampak gelisah lagi.
Semua pastilah karena pertolongan dan kehendak-Nya, tapi yang kuingat saat itu adalah, janjiku kepada-Nya dalam munajatku. Aku hanya berpikir, perjalanan yang berlanjut itu sebagai jawaban-Nya atas permintaanku. Janjiku untuk memperbaiki diri setelah ini.
Sampai di jembatan kayu pelabuhan Moti, kami turun dengan badan gemetar. Seorang teman, guru TK, kulihat mendarat lebih dulu dan langsung berlari dengan derai air mata menuju tempat kostnya yang tak jauh dari pelabuhan. Orang-orang di pelabuhan hanya memandang dengan keheranan. Aku melihat suamiku duduk terpekur di atas kayu jembatan. Beberapa menit aku menenangkan anak-anak dan membiarkan suamiku dengan perasaannya. Tiga jam perjalanan yang mencekam cukup membuatnya kehilangan kestabilan beberapa saat. Hingga akhirnya tetangga rumah tempat kami tinggal menghampiri kami.
Sampai saat menulis ini, air mataku selalu hadir bila kuceritakan lagi peristiwa itu. Peristiwa yang sempat membuat suamiku berpikir dan bertanya dalam diam, siapa yang akan diselamatkannya karena ada tiga orang yang tak bisa berenang bersamanya. Namun bagiku, peristiwa itu menjadi pengingat bahwa saat ini adalah kesempatan hidup ke-2, dan janjiku untuk memperbaiki diri. Semoga menjadi lebih baik dan bisa menepati janji.
#TantanganODOP
#onedayonepost
#ODOPbatch5