Tak kan ada ikan gurih di meja makan
tanpa ada jerih payah nelayan
daging ikan sumber gizi bermutu tinggi
diperlukan semua manusia.
Siang malam mengembara di lautan
ombak badai menghadang dan menerjang
pak nelayan tak lekang dalam darmanya
demi kita yang membutuhkan ikan
Bait-bait di atas adalah syair lagu yang pernah selalu diputar di stasiun TV pemerintah sekitar duapuluhan tahun yang lalu. Lagu yang menggambarkan betapa berjasanya para nelayan yang memenuhi kebutuhan ikan kita, dengan perjuangan yang tidak mudah.
Berikut ini adalah cerita tentang kehidupan sebuah kampung nelayan yang harus menghadapi ironi.
Sekitar lima belas tahun lalu, saat pertama kali singgah di perkampungan nelayan bertajuk Pasar Banggi, aku merasa berkenalan dengan daerah baru yang cukup berbeda dengan daerah asalku. Ya, berbeda karena aku lebih dekat dengan pegunungan daripada laut. Dari desa tempat tinggalku, perlu beberapa jam perjalanan darat untuk mencapai pantai terdekat.
Pasar Banggi, sebuah daerah pinggiran pantai yang setiap pagi sibuk dengan aktivitas khas nelayan. Dimulai dari sebelum terbitnya fajar, para lelaki sudah bangun dan memulai aktivitasnya sebagai nelayan. Mereka berangkat ke laut untuk menangkap ikan, dan sekitar jam 7 pagi, tempat pelelangan ikan yang tepat berada di tepi pantai akan mulai ramai oleh nelayan dan para penadahnya. Hingga hampir tengah hari aktivitas itu baru akan selesai.
Saat itu, di perumahan nelayan setiap pagi ada saja yang berkeliling menawarkan hasil laut sebagai lauk harian. Sehingga setiap rumah bisa dipastikan selalu ada ikan atau hasil laut lainnya seperti udang, cumi, atau kerang, sebagai teman mereka bersantap nasi. Di siang hari hingga malamnya, selalu saja ditemui pemandangan lelaki yang sedang membenahi jaring di ruang depan rumahnya. Khas keadaan kampung nelayan dan menjadi keunikannya.
Tahun ini, entah kali singgahku yang ke berapa di Pasar Banggi, aku tak ingat lagi. Namun, sejak dua tahun sebelum ini, ada pemandangan yang begitu berbeda disana. Kesibukan nelayan di pagi hari tak nampak lagi. Ibu-ibu yang seringkali menawarkan ikan di pagi hari, juga sudah tak kutemui. Dan, semua bukan karena mereka tak mau lagi menangkap ikan, tetapi karena mereka tak lagi menemukan ikan dan tangkapan lainnya di sekitaran Pasar Banggi. Mereka yang mendapat ikan adalah nelayan dengan kapal yang cukup besar dan harus berlayar berhari-hari hingga berminggu-minggu. Tak sama lagi seperti dulu, hanya cukup dengan perahu motor yang terbilang kecil yang hampir dimiliki oleh setiap keluarga. Saat ini, perahu-perahu itu lebih sering terikat saja di batas pantai, sudah jarang menaklukkan ombak di tengah lautan.
Ya, miris melihat kenyataan itu. Ternyata pantai yang dulu begitu ramai dengan hasil tangkapan, dalam waktu kurang dari 20 tahun sudah menjadi pantai yang sepi. Tentu ada alasan mengapa semua terjadi. Mungkin salah satunya adalah penggunaan alat tangkap yang tidak memperhatikan kelestarian ekosistem laut. Seperti yang baru-baru ini hangat diberitakan, pemakaian cantrang oleh para nelayan. Sejenis jaring yang mampu mengeruk seisi dasar laut hingga ke karang-karangnya.
Mirisnya lagi, sebagian para nelayan dari berbagai daerah justru meminta Menteri Kelautan untuk melegalkan pemakaian cantrang. Mungkinkah mereka tidak melihat nasib yang telah terjadi di Pasar Banggi?
Merasa takjub ketika di daerah timur Indonesia, Ternate dan sekitarnya, ikan dan sejenisnya masih sangat melimpah. Suka melihat kearifan mereka yang menangkap ikan dengan “bacigi” dengan nilon yang dipasang umpan saja. Di pinggiran pantai dan di atas dermaga, mereka masih bisa menangkap ikan dengan cara tradisional itu. Berharap kearifan itu akan tetap terjaga, agar semakin panjang waktu bagi kita dapat menikmati ikan dan sejenisnya. Berharap juga, kampanye dan kepedulian pemerintah akan semakin baik dalam melindungi kelestarian sumber daya laut. Agar generasi beberapa puluh tahun yang akan datang masih bisa menemui ikan seperti kita saat ini. Pasar Banggi, pantai yang tak lagi memiliki ikan, semoga menjadi pelajaran bagi pantai-pantai di daerah lain.
Tetapi selalu ada sisi yang lain dari suatu peristiwa. Kelangkaan ikan di sana, akhirnya menggerakkan para kreator untuk menggeliatkan pantai sebagai tempat wisata. Penanaman cemara dan bakau di sepanjang pantai sudah dilakukan sejak beberapa tahun terakhir untuk menyejukkan para pengunjung. Beberapa wilayah pantai tetangga Pasar Banggi, sudah mulai ramai dikunjungi wisatawan lokal maupun lintas daerah di hari-hari libur. Para nelayan juga sebagian sudah beralih haluan menjadi pedagang makanan bagi pengunjung pantai. Mungkin, beberapa tahun yang akan datang, anak-anak di sana tak lagi mengenal Pasar Banggi sebagai daerah nelayan, tapi daerah pantai wisata, semoga.
tanpa ada jerih payah nelayan
daging ikan sumber gizi bermutu tinggi
diperlukan semua manusia.
Siang malam mengembara di lautan
ombak badai menghadang dan menerjang
pak nelayan tak lekang dalam darmanya
Bait-bait di atas adalah syair lagu yang pernah selalu diputar di stasiun TV pemerintah sekitar duapuluhan tahun yang lalu. Lagu yang menggambarkan betapa berjasanya para nelayan yang memenuhi kebutuhan ikan kita, dengan perjuangan yang tidak mudah.
Berikut ini adalah cerita tentang kehidupan sebuah kampung nelayan yang harus menghadapi ironi.
Sekitar lima belas tahun lalu, saat pertama kali singgah di perkampungan nelayan bertajuk Pasar Banggi, aku merasa berkenalan dengan daerah baru yang cukup berbeda dengan daerah asalku. Ya, berbeda karena aku lebih dekat dengan pegunungan daripada laut. Dari desa tempat tinggalku, perlu beberapa jam perjalanan darat untuk mencapai pantai terdekat.
Pasar Banggi, sebuah daerah pinggiran pantai yang setiap pagi sibuk dengan aktivitas khas nelayan. Dimulai dari sebelum terbitnya fajar, para lelaki sudah bangun dan memulai aktivitasnya sebagai nelayan. Mereka berangkat ke laut untuk menangkap ikan, dan sekitar jam 7 pagi, tempat pelelangan ikan yang tepat berada di tepi pantai akan mulai ramai oleh nelayan dan para penadahnya. Hingga hampir tengah hari aktivitas itu baru akan selesai.
Saat itu, di perumahan nelayan setiap pagi ada saja yang berkeliling menawarkan hasil laut sebagai lauk harian. Sehingga setiap rumah bisa dipastikan selalu ada ikan atau hasil laut lainnya seperti udang, cumi, atau kerang, sebagai teman mereka bersantap nasi. Di siang hari hingga malamnya, selalu saja ditemui pemandangan lelaki yang sedang membenahi jaring di ruang depan rumahnya. Khas keadaan kampung nelayan dan menjadi keunikannya.
Tahun ini, entah kali singgahku yang ke berapa di Pasar Banggi, aku tak ingat lagi. Namun, sejak dua tahun sebelum ini, ada pemandangan yang begitu berbeda disana. Kesibukan nelayan di pagi hari tak nampak lagi. Ibu-ibu yang seringkali menawarkan ikan di pagi hari, juga sudah tak kutemui. Dan, semua bukan karena mereka tak mau lagi menangkap ikan, tetapi karena mereka tak lagi menemukan ikan dan tangkapan lainnya di sekitaran Pasar Banggi. Mereka yang mendapat ikan adalah nelayan dengan kapal yang cukup besar dan harus berlayar berhari-hari hingga berminggu-minggu. Tak sama lagi seperti dulu, hanya cukup dengan perahu motor yang terbilang kecil yang hampir dimiliki oleh setiap keluarga. Saat ini, perahu-perahu itu lebih sering terikat saja di batas pantai, sudah jarang menaklukkan ombak di tengah lautan.
Ya, miris melihat kenyataan itu. Ternyata pantai yang dulu begitu ramai dengan hasil tangkapan, dalam waktu kurang dari 20 tahun sudah menjadi pantai yang sepi. Tentu ada alasan mengapa semua terjadi. Mungkin salah satunya adalah penggunaan alat tangkap yang tidak memperhatikan kelestarian ekosistem laut. Seperti yang baru-baru ini hangat diberitakan, pemakaian cantrang oleh para nelayan. Sejenis jaring yang mampu mengeruk seisi dasar laut hingga ke karang-karangnya.
Mirisnya lagi, sebagian para nelayan dari berbagai daerah justru meminta Menteri Kelautan untuk melegalkan pemakaian cantrang. Mungkinkah mereka tidak melihat nasib yang telah terjadi di Pasar Banggi?
Merasa takjub ketika di daerah timur Indonesia, Ternate dan sekitarnya, ikan dan sejenisnya masih sangat melimpah. Suka melihat kearifan mereka yang menangkap ikan dengan “bacigi” dengan nilon yang dipasang umpan saja. Di pinggiran pantai dan di atas dermaga, mereka masih bisa menangkap ikan dengan cara tradisional itu. Berharap kearifan itu akan tetap terjaga, agar semakin panjang waktu bagi kita dapat menikmati ikan dan sejenisnya. Berharap juga, kampanye dan kepedulian pemerintah akan semakin baik dalam melindungi kelestarian sumber daya laut. Agar generasi beberapa puluh tahun yang akan datang masih bisa menemui ikan seperti kita saat ini. Pasar Banggi, pantai yang tak lagi memiliki ikan, semoga menjadi pelajaran bagi pantai-pantai di daerah lain.
Tetapi selalu ada sisi yang lain dari suatu peristiwa. Kelangkaan ikan di sana, akhirnya menggerakkan para kreator untuk menggeliatkan pantai sebagai tempat wisata. Penanaman cemara dan bakau di sepanjang pantai sudah dilakukan sejak beberapa tahun terakhir untuk menyejukkan para pengunjung. Beberapa wilayah pantai tetangga Pasar Banggi, sudah mulai ramai dikunjungi wisatawan lokal maupun lintas daerah di hari-hari libur. Para nelayan juga sebagian sudah beralih haluan menjadi pedagang makanan bagi pengunjung pantai. Mungkin, beberapa tahun yang akan datang, anak-anak di sana tak lagi mengenal Pasar Banggi sebagai daerah nelayan, tapi daerah pantai wisata, semoga.
0 comments:
Post a Comment